Fenomena Wartawan Dadakan dan Ancaman Serius Dunia Jurnalistik Kerinci – Sungai Penuh

Oleh:

Sebri Asdian

Mahasiswa Pascasarjana

Universitas Jambi

Pimred bekabar.id

Bidang jurnalisme memegang peranan penting dalam memberikan informasi yang akurat dan terpercaya kepada masyarakat. Perkembangannya sangat pesat bak jamur di musin hujan.

Bahkan sekarang, keberadaan media online sangat digemari dan disukai karena sangat mudah mengaksesnya melalui handphone seluler dan laptop yang terkoneksi dengan jaringan internet.

Keunggulan lain dari media online adalah pembaca disuguhkan dengan berita yang bersifat up to date dan informasi yang dijajakan media onlinepun bersifat real time atau saat itu juga. Kemajuan dunia informasi berupa media online, tentu punya dampak negatifnya juga, terlebih untuk profesi jurnalis.

Seperti dalam beberapa tahun terakhir, di Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh bisa kita lihat telah banyak peningkatan individu yang memasuki profesi ini tanpa profesionalisme dan standar etika yang diperlukan, tanpa pemahaman tentang praktik jurnalistik, namun tiba-tiba sudah jadi wartawan.

Dengan bermodalkan kartu pers yang pada hakikatnya bisa sangat mudah dicetak pada percetakan, mereka sudah bisa beroperasi dan mengklaim diri sebagai jurnalis.

Individu seperti ini bisa kita sebut wartawan dadakan, jurnalis instan ataupun wartawan gadungan.

Biasanya, wartawan dadakan ini juga tidak mematuhi prinsip-prinsip kemandirian, objektivitas, dan akurasi berita. Dengan sumber daya yang terbatas, wartawan dadakan bisa saja bergantung pada sumber yang tidak terverifikasi atau mengabaikan pengecekan fakta serta cenderung bekerja tanpa panduan editorial.

Akibatnya berita yang dihasilkan pun sensasional, spekulatif, tidak berdasar, atau bahkan menyebarkan berita bohong (hoaks).

Menilik pada beberapa artikel berita untuk wilayah Kerinci dan Kota Sungai Penuh, kerab kali kita temukan sebuah tulisan yang semrawut. Entah dimana titik dan dimana koma, huruf kecil letaknya dimana, huruf besar pun dimana. Belum lagi spasi, narasi yang tidak nyambung dan sulit untuk dicerna oleh para pembaca.

Semua itu, tentunya berpotensi mengusik kehidupan pers, seperti menurunkan kredibilitas dan kualitas konten jurnalistik yang dihasilkan secara keseluruhan, merusak citra dan mengikis kepercayaan publik terhadap dunia jurnalistik, serta merusak citra wartawan profesional Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh yang telah mengabdikan diri untuk profesi ini.

Dari fenomena yang ada di Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh saat ini, sudah bisa dikatakan bahwa degradasi jurnalis makin memprihatinkan.

Fenomena lain yang perlu diteliti, adalah jurnalis yang “dewasa” sebelum saatnya. Kenapa begini? Baik, mari kita bedah secara sekilas. Karena kalau dikupas habis, perlu waktu dan kajian mendalam. Setidaknya, ada gambaran untuk didiskusikan lebih dalam lagi.

Pada penggalan tulisan salah seorang Jurnalis Senior di Provinsi Jambi Alpadli Monas dengan judul “Degradasi Jurnalis dan Jiwa Korsa yang Mulai Hilang” yang telah dimuat pada beberapa media disebutkan, perkembangan dunia internet membuat pertumbuhan media online makin pesat. Dengan cukup bermodal domain name (nama situs) dan sewa hosting (baik share hosting ataupun VPS hosting), seseorang sudah bisa punya media online/daring-dalam jaringan-.

Bermodal template dan CMS –content management system-, pembuatan konten/artikel jadi lebih mudah. Otak-atik sebentar, tambah logo dan setting ini itu, daftarkan ke search console google supaya terindeks di situs pencarian google, bikin fans page di medsos seperti Facebook, Twitter dan Instagram, dan… bang, situs jadi.

Bahkan ada juga yang membuat situs media online menggunakan AGC (Auto Generate Content). Cukup copy dari sana-sini, lalu paste ke situs (manual atau otomatis), dan… bang lagi, lagi-lagi situs jadi. Tiba-tiba ownernya sudah jadi wartawan. Media online siap berlayar mengabarkan informasi.

Dalam waktu singkat, situs media online itu sudah berlayar di dunia maya. Tak peduli siapa jurnalis di belakangnya, pengalamannya maupun mutu tulisannya. Yang penting, situs jadi, link bertebaran di medsos-medsos, maka eksis sudah media online itu. Pemiliknya adalah wartawan, terkadang merangkap segalanya. Mulai dari wartawan dia, redaktur dia, pemimpin redaksi dia, buzzer dia dan ownernya dia. Satu orang untuk pengoperasian media itu.

Sebegitu mudahnya membuat media online saat ini. Dan, sebegitu gampangnya menjadi jurnalis lewat media online. Degradasi jurnalis kembali terjadi.

Padahal… dulu, jauh sebelum media online berkembang pesat, menjadi jurnalis profesional bukanlah perkara gampang. Perlu pelatihan-pelatihan kontinyu, perlu waktu, perlu gemblengan lapangan yang penuh asam-garam, perlu jenjang karir yang jelas hingga akhirnya seseorang bisa dikatakan wartawan yang “dewasa” pada saatnya.

Wartawan yang –maaf-, baru kemarin sore belajar menulis berita, pagi ini sudah punya media online hingga menjadi Pemred di medianya sendiri.

Apakah itu salah? Tidak. Tentu saja tidak. Asal, ia benar-benar bisa menjalankan fungsinya sebagai Pemred, Sang Jenderal Tempur penjaga redaksi dan dunia jurnalistik di media itu. Agar jurnalisme tak terdegradasi oleh ketidakmampuan dan ketidaktahuannya yang “dewasa” sebelum saatnya. Begitu isi penggalan tersebut.

Untuk mengatasi fenomena ini, perlu ada upaya untuk memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap profesi jurnalistik.

Selain itu, perlu adanya upaya kolaboratif dari banyak pihak, termasuk pemerintah, organisasi jurnalis dan wartawan profesional. Baik dengan memberikan pendidikan dan pelatihan yang memadai, meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya mendukung jurnalis yang profesional dan bertanggung jawab maupun dengan upaya lainnya.

Media dan wartawan profesional yang selalu menjaga kualitas karya jurnalistiknya harus tampil di baris terdepan.

Mengapa begitu? Karena, media dan wartawan profesional dapat menyehatkan demokrasi dan menjadi instrumen perekat sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Angkat telunjuk. Tuding wajah wartawan abal-abal, wartawan dadakan maupun jurnalis instan. Protes. Agar dia jera.

Jadi lah pembeda dengan menjaga profesionalitas untuk menjadi benteng terakhir dalam membangun kepercayaan publik terhadap profesi jurnalis.

Pos terkait