Restorative Justice Terhadap Kasus Great Party SMAN 1 Tanjab Barat

Oleh: Ilham Singgih Prakoso S.H

Baru-baru ini kita di gegerkan dengan beredarnya video viral yang di duga dilakukan oleh oknum siswa – siswi SMAN 1 Tanjab Barat, viralnya video tersebut bukan karena ada siswa yang berprestasi akan tetapi viralnya video tersebut menggambarkan suasana party ala diskotik yang dilakukan sebagian oknum siswa SMAN 1 Tanjab Barat di Gedung Pola Kantor Bupati Tanjab Barat yang kemudian dibubarkan oleh pihak kepolisian.

Bacaan Lainnya

Tidak sampai disitu kasus ini berlanjut sampai ke ranah hukum.  Dimana ketua Event Organizer Tungkal Project berinisial RC ditetapkan sebagai tersangka acara great party siswa SMAN 1 Tanjab Barat, penetapan tersangka tersebut disampaikan langsung oleh Kapolres Tanjab Barat. (Tribunnews.com 12/04/2021), dari kasus itu tersangka disangkakan dengan pasal 160 KUHPidana dan atau pasal 93 UU No 6 Thn 2018 tentang kakarantinaan kesehatan. (Kompas.com 12/04/2021).

Penetapan tersangka dengan menggunakan pasal 160 KUHpidana dirasa tidak tepat untuk menjerat RC. Mengapa demikian ? mari kita lihat bunyi pasal 160 KUHPidana “Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun utau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. didalam pasal tersebut terdapat unsur menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, pertanyaannya apakah tersangka melakukan hasutan untuk melakukan perbuatan pidana ? menurut hemat saya jawabanya tidak, mengapa saya katakan tidak karena dari awal kegiatan itu sebenarknya hanya untuk hiburan semata merayakan kelulusan adik-adik SMAN 1 Tajung Jabung Barat. Selain itu kegiatan tersebut memiliki izin dari satuan gugus tugas. Hal tersebut adalah hal biasa, sama dengan pesta pernikahan yang dilakukan oleh orang-orang dimasa pandemi saat ini.

Selain pasal 160 KUHPidana, digunakan juga pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 tentang kakarantinaan kesehatan, bunyi pasal 93 Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pertanyaannya sekarang apakah Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Barat (pemkab Tanja barat) sedang melaksanakan kekarentinaan kesehatan ? untuk mempermudah memahaminya mari kita lihat apa yang dimaksud dengan kekarentinaan kesehatan didalam UU No 6 tahun 2018. Pada pasal 1 angka 1 “menyebutkan Kekarantinaan Kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat”. Bunyi pasal 1 angka 1 itu sangat jelas dan terang upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Sedangkan Pemkab Tajabbar sedang tidak melaksanakan kekarentinaan kesehatan hal itu bisa dilihat dari bebas keluar masuknya kendaraan yang bukan dari Tanjab Barat dan juga tidak ada penutupan akses masuk ke Tanjab Barat. Sehingga pasal inipun juga tidak tepat untuk digunakan menjerat RC.

Oleh karena itulah sebenarnya kasus ini dapat diselesaikan melalui pendekatan restorative justice, atau yang sering disebut dengan keadilan restorasi. Menitik beratkan adanya partisipasi langsung dari pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesain perkara pidana. Menurut Liebman dalam Yusi Amdani (2016) restorative justice merupakan sistem hukum yang bertujuan untuk mengembalikan kesejahtraan korban, pelaku dan masyarakat yang rusak oleh kejahatan atau pelanggaran. Sehingga tidak harus langsung di kenakan dengan hukuman pidana.

Jika melihat dari  kasus diatas, sebenarnya kegiatan tersebut lebih tepatnya melanggar Peraturan Daerah Kabupaten Tanjung Jabung Barat Nomor 4  Tahun 2020 tentang penegakan protokol kesehatan corona virus disease-19. Pasal 18 ayat (1) setiap pimpinan event organizer dan tamu atau pengunjung wajib menerapkan protokol kesehatan Covid-19 sebagimana dimaksud dalam padal 1 ayat 5. Adapun sanksi terhadap pelanggaran tersebut terdapat di ayat (3) sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa :

bagian perorangan :

teguran lisan

teguran tulisan dan/atau

denda administratif sebesar Rp 50.000,-

bagi badan (pelaku usaha, penelola penyelenggara atau penanggung jabawab dan fasilitas umum ):

teguran lisan

teguran tertulis

denda administrasi 250.000,-

penghentian kegiatan sementara kegiatan usaha dan/ atau pencabutanizin usaha.

Adapun jika dikenakan ketentuan pidana maka diatur dalam BAB XV pasal 24 setiap badan (pelaku usaha, pengelola, penyelenggara atau penanggung jawab)  yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b huruf c dan huruf d dipidana dengen pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Dengan demikian untuk menjamin rasa keadilan maka penegak hukum harus lebih jeli melihat pasal apa dan aturan mana yang layak untuk dikenakan oleh tersangka sehingga tidak mencedrai nilai – nilai keadilan, meminjam istilah Prof Satjipto Raharjo hukum merupakan institusi yang bertujuan untuk menghantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtra dan membuat manusia bahagia, bukan sebaliknya sebagai alat represif.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar